Beberapa waktu terakhir ini lini masa media sosial kita diramaikan dengan istilah predatory pricing. Bahkan Presiden, Ir. Joko Widodo sempat geram dengan hal tersebut. Sebenarnya apa itu Predatory pricing?
Jadi, Predatory pricing atau harga predatori adalah strategi penetapan harga di mana harga yang ditetapkan atas suatu produk atau layanan sangat rendah dari harga pasaran industri.
Tujuannya adalah untuk menjangkau pelanggan baru, menyingkirkan pesaing, atau menciptakan hambatan bagi calon pesaing baru untuk memasuki pasar industri.
Mungkin itu tampak seperti strategi bisnis biasa. Tapi jika dibiarkan akan menghilangkan persaingan sehat sehingga pasar lebih rentan terhadap monopoli karena penetapan harga produk atau jasa yang terlalu rendah.
Predatory Pricing Ilegal
Yurisdiksi di banyak negara menganggap bahwa penerapan strategi predatory pricing tergolong tindakan ilegal sebab dinilai anti-kompetitif yakni bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tentang persaingan.
Meski pada kenyataannya cukup sulit untuk membuktikan, karena para pelaku industri yang menerapkan strategi ini berdalih bahwa penurunan harga merupakan hal wajar dalam persaingan bisnis.
Persoalan predatory pricing di e-commerce sempat menjadi perhatian serius Presiden Jokowi. Ia bahkan menyebut membenci produk luar terkait adanya fenomena ini.
Regulasi yang mengatur larangan predatory pricing sudah diatur dalam UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat,” tulis Pasal 20 pada UU tersebut.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga sudah membuat pedoman pelaksanaan pasal 20 tentang Jual Rugi ini.
Pedoman itu menyebut dalam beberapa kasus perilaku predatory pricing tidak selalu pelaku usaha monopoli atau incumbent, bahkan juga tidak selalu pelaku usaha yang dominan.
Tetapi lebih cenderung salah satu pelaku usaha oligopoli. Bahkan, lebih jauh lagi pelaku usaha predator tidak selalu berusaha menyingkirkan pelaku usaha pesaingnya dari pasar, tetapi lebih untuk mencegah masuknya pesaing-pesaing baru yang potensial ke dalam pasar bersangkutan
Namun, tidak mudah bagi pelaku usaha incumbent untuk menjalankan perilaku predatory pricing. Oleh karena itu perlu dipahami berbagai ciri pelaku usaha yang bertindak sebagai predator tersebut. Hal ini disebabkan, pertama, selama menjalankan praktek jual rugi, pelaku usaha akan mengalami kerugian yang cukup besar.
Dalam kenyataannya, kerugian yang diderita oleh pelaku usaha incumbent akan jauh lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang diderita oleh pelaku usaha pesaing dengan tingkat efisiensi yang sama.
Hal ini disebabkan oleh karena keharusan pelaku usaha incumbent memenuhi kebutuhan seluruh permintaan pasar pada tingkat harga rendah yang diberlakukannya. Sementara pelaku usaha pesaing tidak dituntut oleh kewajiban seperti itu, sehingga pelaku usaha pesaing dapat mengatur produksinya untuk meminimalkan kerugian.
Kerugian pelaku usaha incumbent bahkan akan semakin besar jika pelaku usaha incumbent juga harus memenuhi jumlah produksi yang ditinggalkan pelaku usaha pesaing, atau apabila peningkatan pasar semakin besar. Dengan demikian, jual rugi akan sangat memberatkan bagi pelaku usaha yang ingin memberlakukan pratik predatory pricing.
Baca juga: Resmi Dirilis, ini Keunggulan Xiaomi Redmi Note 10 dan Redmi Note 10 Pro