Hujan Bulan Juni merupakan salah satu karya fenomenal yang ditulis oleh sastrawan kondang, Sapardi Djoko Damono.
Setiap memasuki bulan Juni, yang terlintas di benak sebagian orang adalah karya sang Sastrawan yang menutup usia pada Minggu, 19 Juli 2020 lalu.
Karya tersbut tidak berhenti sebagai puisi, namun juga diadaptasi menjadi novel, komik, lagu hingga film.
Puisi Hujan Bulan Juni bermula dari kumpulan puisi yang kemudian berkembang menjadi novel trilogi.
Sapardi mulai menulis puisi tersebut di medio 1964-1994.kumpulan puisi Hujan Bulan Juni telah dialihbahasakan ke dalam 4 bahasa yaitu Inggris, Jepang, Arab dan Mandarin.
Puisi yang terbit di tahun 1994 itu memuat 102 buah puisi. Sapardi mengungkap alasan mengapa dia menulis puisi tersebut pada tahun 2015 lalu.
“Kalau saya tulis tentang hujan pada bulan Desember, Desember kan memang (musim) hujan. Kalau nulisnya hujan pada Desember, nanti enggak ada yang bertanya, ‘Mengapa harus hujan pada bulan Juni?’ He-he-he,” kata Sapardi seperti yang diberitakan Kompas.com, 15 Juni 2015.
Sapardi juga mengisahkan, pada 1989 ketika ia menulis puisi tersebut, hujan memang tak pernah jatuh pada bulan Juni.
Puisi itu ia tulis sambil melihat telaga Situ Gintung, Ciputat, Tangerang Selatan. Sapardi menuliskannya ketika berada di ruang kerja di perumahan dosen. Jendela rumahnya menghadap ke Telaga Situ Gintung.
Novel Hujan Bulan Juni
Sapardi mengaku hanya membutuhkan waktu 6 bulan untuk menulis novel berjudul Hujan Bulan juni, yang diadaptasi dari puisi karyanya dengan judul yang sama.
“Saya itu nulis dua novel sekaligus. Per enam bulan, gantian gitu nulisnya. Karena macam-macam, ada puisi, ada cerita pendek,” ungkap sapardi ketika berbincang dengan Kompas.com, 14 Juni 2015.
Novel setebal 144 halaman itu bercerita mengenai kisah getir dan manis Sarwono dan Pingkan.
Dalam wawancara peluncuran novelnya tersebut, Sapardi mengaku tidak menyangka puisinya diadaptasi menjadi lagu, komik, novel bahkan film.
Sumber: Kompas.com
Baca juga: “Cruella” Kisah Tokoh Jahat Film Disney, Tayang 28 Mei Mendatang