Lagu Indonesia Raya selalu berkumandang tidak hanya ketika upacara bendera atua peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, namun juga di setiap kegiatan resmi apapun mulai tingkat paling rendah hingga skala nasional.
Selama ini, masyarakat hanya terbiasa dengan lagu Indonesia Raya stanza satu. Padahal, lagu ciptaan Wage Rudolf Supratman itu sebenarnya memiliki tiga stanza.
Lagu Indonesia Raya tiga stanza pertama kali dibawakan melalui gesekan biola W.R. Supratman dalam Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang dikenal sebagai cikal bakal Hari Sumpah Pemuda.
Mulai empat tahun terakhir ini, pemerintah mengenalkan lagu Indonesia Raya tiga stanza kepada masyarakat.
Pemerintah membuka tahun ajaran baru pada 2017 lalu dengan menerapkan kebijakan baru sehubungan dengan lagu Indonesia Raya yaitu dengan menyanyikan tiga stanza lagu kebangsaan tersebut dalam gelaran upacara tertentu.
Lirik lagu Indonesia Raya 3 Stanza

Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg’riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
II
Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s’lama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka,
P’saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
III
Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N’jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Idonesia abadi.
S’lamatlah rakyatnya,
S’lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg’rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
Refrain
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg’riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
Makna di Balik Lagu Indonesia Raya 3 Stanza
Melansir Tirto.id, Dwi Oktarina dalam esainya yang berjudul “Menelisik Indonesia Raya”, lagu Indonesia Raya merupakan pernyataan perasaan nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958.
Perasaan nasional tersebutlah yang menjadikan lagu kebangsaan tersebut memiliki banyak makna di baliknya. Salah satunya adalah menggambarkan semangat dan cita-cita bangsa Indonesia yang tertulis dalam lirik demi lirik lagu.
Stanza pertama “Indonesia Raya” menggarisbawahi lirik “Marilah kita berseru, Indonesia bersatu” yang ditulis sebagai makna penyemangat.
Selain itu, kalimat tersebut juga seruan bagi Indonesia yang pada saat lagu tersebut pertama kali dikumandangkan, Indonesia belum merdeka untuk bersatu meraih kemerdekaan Indonesia.
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” pada stanza pertama pada awalnya tidak ditulis demikian. Sebelumnya, lirik tersebut tertulis “Bangunlah badannya, bangunlah jiwanya” yang kemudian diganti atas usul Ir. Soekarno.
Ir. Soekarno mengusulkan pendapatnya “tak akan bangun raga seseorang jika jiwanya tidak terlebih dahulu bangun. Hanya seorang budak yang badannya bangkit namun jiwanya tidak”.
Pada stanza kedua, lirik yang ditekankan adalah “Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia”. Kalimat tersebut memendam landasan spiritual dengan selalu berdoa agar Indonesia senantiasa menjadi negara yang bahagia.
Selanjutnya, lirik berbunyi “Sadarlah budinya, sadarlah hatinya”, bermakna masyarakat Indonesia yang senantiasa memiliki budi dan hati yang baik.
Pada stanza terakhir, tertulis sumpah dan amanat agraria yang diselipkan di dalam lirik “Indonesia raya”.
Lirik tersebut adalah “Marilah kita berjanji. Indonesia Abadi”, sementara amanat agraria terdapat dalam lirik “Slamatlah rakyatnya, Slamatlah Putranya, Pulaunya, Launta, Semuanya”.
Makna agraria yang dimaksud dalam lirik pada stanza ketiga tersebut tidak terbatas dengan tanah Indonesia, melainkan seluruh yang terkandung dalam Indonesia meliputi tanah, laut, hingga luar angkasanya.
Lirik dan notasi lagu “Indonesia Raya” pertama kali dimuat di surat kabar Sin Po edisi 10 November 1928, selang 13 hari setelah lagu tersebut pertama kali dinyanyikan pada Kongres Pemuda II.
Koran tersebut pun dicetak sebanyak 5.000 eksemplar. Awalnya lagu tersebut berjudul “Indonesia” dan bukan “Indonesia Raja” atau “Indonesia Raya”. Koran Sin Po sendiri adalah wadah W.R. Supratman bekerja sebagai seorang jurnalis.
Stanza sendiri adalah kumpulan lirik sajak yang menjadi satuan struktur sajak, ditentukan oleh jumlah larik, pola matra atau rima.
Baca juga: Momentum Proklamasi 1945: Tujuan dan Hasil Kesepakatan Peristiwa Rengasdengklok